Thursday, November 3, 2016

Pelanggaran Hak Azasi Manusia. Esai atas pembunuhan Salim Kancil

Salim Kancil, dan lingkaran setan itu kembali lagi.
Saya sedang menonton CNN saat itu, lalu merasa bosan dengan topik beritanya yang berat dan berganti ke saluran berita nasional. Kemudian salah satu headline di berita menarik perhatian saya. Pembunuhan atas Salim Kancil, salah seorang petani di Lumajang yang dilakukan oleh gerombolan pihak yang tidak dikenal. Nama Kancil yang melekat di belakang Salim dan sampai sekarang saya belum tahu apakah itu nama sungguhan atau tidak, menarik perhatian saya. Saya pun akhirnya tertarik mengikuti berita tersebut.
Berita semakin menarik. Dikabarkan bahwa Salim Kancil meninggal dengan cara dikeroyok. Bahkan sebelum dikeroyok, Salim sempat disiksa terlebih dahulu. Lalu barulah dijelaskan bahwa Salim disiksa dengan cara dipukul dengan kayu, pacul dan celurit. Sebelum dikeroyok, Salim sempat melarikan diri dari gerombolan yang tak dikenal namun dia tertangkap juga. Setelah ditangkap, Salim pun diseret dan dibawa ke suatu tempat untuk pada akhirnya disiksa lagi. Di akhir berita, diberitahu bahwa otak dari penganiayaan Salim Kancil tersebut adalah kepala desa Selok Awar-Awar, desa tempat Salim tinggal. Penyebabnya adalah untuk mempertahankan tambang ilegalnya yang biasa diprotes oleh Salim. Dan berita pun berakhir sampai di situ.
Saya semakin penasaran dengan kasus Salim Kancil ini. Hal yang paling menarik adalah ternyata otak pembunuhan itu adalah kepala desa Salim Kancil itu sendiri. Kemudian saya pun mencari – cari artikel tentang Salim Kancil di internet. Ternyata alasan Salim Kancil bersikukuh terus memprotes adalah karena sebagian lahan pertanian di desanya menjadi rusak dan tidak bisa ditanami kembali karena pertambangan ilegal. Salim mencoba untuk mencari mata pencaharian lain dengan menjadi nelayan untuk menghindari konflik, nyatanya dia tidak berhasil menjadi nelayan.
Akhirnya Salim pun mulai mengajak teman- temannya untuk mencoba memberikan laporan kepada kepada kepolisian setempat namun tidak ada tindakan. Salim pun beserta teman – temannya membuat Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar – Awar. Salah satu tindakannya adalah membuat aksi damai yang menyetop kegiatan penambangan pasir dan truk – truk bermuatan pasir yang hendak menuju atau dari penambangan ilegal tersebut. Hasilnya, Salim Kancil mendapatkan ancaman pembunuhan.
Salim Kancil lalu mengadukan hal tersebut ke kepolisian setempat, namun tidak ada respons. Hingga akhirnya dia pun terbunuh oleh para preman yang diketuai oleh kepala desanya sendiri.
Mengetahui cerita ini, seperti cerita – cerita film atau bahkan membaca sejarah manusia jaman dahulu, yaitu tentang seseorang yang melawan akan tirani penguasa. Ternyata cerita tersebut tetap berlanjut atau mungkin terus terjadi selama manusia masih ada. Sedihnya adalah hal tersebut masih terjadi dalam tatanan dunia yang kini sedang mencoba untuk menjunjung tinggi hak azasi manusia dan menciptakan kehidupan yang bahagia bersama – sama.
Beruntung sekarang kita memiliki satu wadah untuk memberikan dan mengetahui segala informasi yang terjadi yaitu media. Saat media memblow-up berita mulai banyak aksi yang menunjukkan rasa simpati mereka dan tak segan-segan mempertanyakan kemana pemerintahan kita. Tapi ternyata Presiden RI yang ke-7 bereaksi atas berita tersebut. Presiden Joko Widodo menyuruh pihak kepolisian untuk mengusut hal tersebut. Hingga akhirnya tertangkaplah dua otak di balik penganiayaan tersebut, Hariyono, kepala desa Selok Awar Awar dan Mat Dasir, ketua lembaga masyarakat desa hutan Selok Awar Awar.
Hariyono dan Mat Dasir harus rela menghabiskan waktu mereka 20 tahun di penjara atas perbuatannya tersebut, namun banyak menganggap hukuman tersebut terlampau ringan untuk mereka.
Salim Kancil adalah salah satu contoh pekerjaan rumah terbesar dalam negara ini. Pihak kepolisian yang tidak merespons atas pengaduan Salim Kancil membuat pertanyaan besar, seandainya mereka cepat bereaksi maka mungkin kejadian ini tak akan terjadi. Di sini merupakan salah satu pelanggaran HAM. Hak azasi Salim Kancil untuk mendapatkan perlindungan ternyata tidak terwujudkan. Cerita ini seperti dengan cerita film – film Bollywood, dimana polisi awalnya tidak menggubris pengaduan seseorang dan baru datang di saat cerita telah usai.
Saya pun bertanya – tanya, apakah seperti ini pelaksanaan hak azasi manusia di Indonesia? Hanya sebatas wacana saja, sementara pada kenyataannya tidak ada yang terwujud? Kita seperti berjalan mundur ke cerita akan salah satu filsuf ternama di dunia, yaitu Socrates. Socrates yang mengalami dilema karena mendapatkan pilihan antara mempertahankan ajarannya dan harus meminum racun karenanya atau berkata bahwa semua yang diajarkannya adalah bohong dan dia pun dibebaskan dari peradilan. Socrates pun memilih untuk meminum racun. Namun pada akhirnya berkat Socrates lah, masyarakat awam mendapatkan peluang untuk mengemban pendidikan di universitas.

Kembali kepada realitas sekarang, pelanggaran HAM bukan terjadi hanya pada Salim Kancil saja. Mungkin masih banyak Salim Kancil yang lain yang tidak terekspos oleh media. Selama manusia yang selalu tidak pernah puas tetap ada, cerita ini akan terus berlanjut. Apakah harga suatu kebenaran sungguh begitu mahal? Apakah harus dikorbankan dulu nyawa seseorang, barulah kehidupan yang ideal dapat terwujud? Dan ini seperti lingkaran setan yang tiada akhirnya. 

No comments:

Post a Comment